Pages

Subscribe:

Senin, 13 Februari 2012

Dari Titik Nadir

Dari Titik Nadir

Titik nadir. Pernahkah kau merasa bahwa hidupmu berada di titik tersebut, kawan? Jika pernah, maka bersyukurlah, karena tidak ada titik yang lebih rendah lagi untuk hidupmu. Hanya pada batas itulah hidupmu mengalami saat terburuk, tidak lebih.

Pada titik inilah, kita melihat teman-teman kita, rival kita, dan orang-orang lain merasa jauh lebih hebat, lebih pintar, lebih beruntung, dan lebih dalam segalanya dibanding diri kita. Yang dirasakan adalah mereka berada di puncak bukit, kita terlleah di lembah. Mereka terbang menjelajah angkasa, kita tenggelam tak berdaya di dasar lautan.

Sehingga ada dua kemungkinan yang biasanya akan terjadi. Pertama, kita akan tergerak untuk perlahan naik menuju titik zenith untuk mampu mengibarkan bendera kemenangan. Kedua, kita justru ingin mengakhiri segalanya dan berputus asa melihat keadaan buruk yang mencekam.

Tapi apapun pilihan kita, tak ada salahnya jika kita sejenak menengok ke belakang, pada sejarah ratusan dan ribuan tahun silam.

Kau tahu Sultan Muhammad Al Fatih, kawan? Pada awalnya bisa dikatakan beliau adalah seorang pemuda yang bandel. Enggan belajar apapun dari para ulama, tidak juga mengkhatamkan Al Qur’an, bahkan pernah menertawakan gurunya. Hingga suatu saat, ia dipukul secara keras dengan tongkat di sebuah majelis oleh gurunya. Beliau takut dan akhirnya mengkahatamkan Kitabullah dalam waktu yang singkat.[1]

Semenjak itu, beliau belajar dengan serius. Alhasil, banyak ilmu pengetahuan yang diserapnya. Kesalehannya meningkat, keberaniannya semakin terhunus tajam, kecemerlangannya melesat. Maka tidak heran, sebuah ide konyol namun menakjubkan akhirnya muncul, yakni mengangkat perahu Utsmani melalui daratan. Dan pada akhirnya, Konstantinopel pun berhasil beliau bebaskan.

Mari kita bergesar ke jaman yang lebih jauh, jaman Dinasti Ayyubiyah. Sultan Shalahuddin Al Ayyubi memimpin generasinya untuk membebaskan kiblat kaum muslimin yang pertama, Masjidil Al Aqsa di Jerussalem.

Bagaimana bisa terjadi padahal dulunya beliau adalah seorang pemuda yang flamboyan, melankolik, mudah meneteskan air mata terhadap hal yang sepele, ngeri membayangkan darah, dan takut melihat luka? Bagaimana bisa ia pada akhirnya memimpin ratusan ribu pasukan dalam pertempuran demi pertempuran yang melibatkan darah, air mata, dan luka?[2]

Dan siapakah juga seorang buta huruf yang pada akhirnya menjadi manusia termulia di hadapan Allah swt? Ya, Rasulullah saw.

Dari mereka, kita belajar. Kita belajar pada Sultan Muhammad Al Fatih yang belajar dengan serius setelah dipukul oleh gurunya dan tetap istiqomah dalam keseriusannya. Dari Sultan Shalahuddin Al Ayyubi kita belajar bagaimana hidupnya berubah 180 derajat saat ia dipaksa untuk turun ke medan perang. Ia gentar tapi tak ada pilihan lain. Dari Rasulullah saw, kita belajar semuanya.

Ya, begitulah kawan. “Kau akan menuai apa yang kau tabur,” ungkap seorang panglima saat berbicang Balian of Ibelin dalam film Kingdom of Heaven. Biarlah masa lalu yang kita anggap kelam hanyut terbawa arus waktu.

Dari titik nadir, kita berangkat. Seperti mereka yang telah menyejarah, yang awalnya tak dikenal, low profile, dan tak dihiraukan. Dari titik nadir, mereka berangkat menuju kemenangan dan kejayaan. Dari titik nadir mereka mulai, bergerilya, tak banyak bicara, istiqomah, dan meluruskan niat agar tetap survive.

Maka saat kita merasa yang lain lebih baik dari kita, itu pertanda bahwa kita harus mengejar mereka. Berlari ketika yang berjalan. Terjaga saat yang lain terlelap. Kukuh berdiri saat yang lain mulai tumbang. Menangis ketika yang lain tertawa. Tersenyum saat lain menangis. Hidup di saat yang lain mati. Karena kelalaian masa lalu bukanlah untuk dijadikan sebuah pemakluman, melainkan sebuah konsekuensi yang perlu kita bayar.

Maka karena kita memulai dari titik nadir, kita diperintahkan untuk berangkat berjuang bagaimanapun keadaannya. Berat ataupun ringan. Sampai kita payah, sampai lelah menjadi kelelahan sendiri mengejar kita yang tak kenal lelah. Sampai tbuh melepuh tak sanggup lagi untuk berjuang. Entah sampai kapan. “Jika orang mengatakan time is money, kita mengatakan time is for Allah,” kata Ustadz Yusuf Mansyur.[3]

Wallahu’alam bis showwab.

[1]Ash Shalabi, Dr. Ali Muhammad. 2011. Sultan Muhammad Al Fatih Penakuluk Konstantinopel. Pustaka Arafah: Solo.
[2] Fillah, Salim A. 2011. Jalan Cinta Para Pejuang Cetakan keenam. Pro-U Media: Jogjakarta.
[3] Mansyur, Ust. Yusuf. Benahi Shalat Kita MP3.

Nanda Iriawan Ramdhan
Mahasiswa Fisika ITS angkatan 2009